Sabtu, 21 Agustus 2010

Ayo Mudik!!!


Tradisi mudik Lebaran melekat erat dengan Idul Fitri. Kerinduan pulang kampung menetralisasi kerepotan, bahkan jadi pemanis kemenangan.
Mudik merupakan potret dialektika budaya yang sudah berlangsung berabad-abad. Said Aqiel Siradj menempatkannya dalam konteks keberagamaan: kembali ke fitrah sebagai upaya kesalehan yang bersifat spiritualvertikal yang konkret, dimaknai lewat jalan kesalehan sosio-horizontal. Silaturahim menjadi sarana sekaligus hasil.
Dalam konteks sosio-horizontal, tradisi mudik bisa menjadi cermin pasang-surutnya kehidupan. Jumlah pemudik bisa dijadikan salah satu faktor walaupun tidak otomatis. Membesarnya jumlah pemudik tidak selalu menjadi cermin kemajuan, bahkan bisa sebaliknya.
Jumlah pemudik dari Jakarta tahun ini hampir 16 juta (tahun lalu 15 juta), tidak otomatis menunjukkan membaiknya pertumbuhan ekonomi. Pertambahan jumlah itu mungkin mengisyaratkan semakin sedikitnya lapangan kerja di pedesaan—berbanding lurus dengan kemiskinan—sehingga semakin banyak orang bermigrasi.
Migrasi berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Jakarta yang luasnya 0,03 persen, dengan jumlah penduduk sekitar 14,2 persen dari total Indonesia, dalam kenyataan menjadi pusat kegiatan sektor finansial, yang mendorong migrasi.
Ada ahli mengatakan mudik sebagai counterstream (arus balik) migrasi (stream). Membuat keputusan bermigrasi, diikuti kesiapan perubahan psikologis. Kebiasaan-kebiasaan di kampung halaman tidak bisa lagi dilakukan sebagai migran Jakarta.
Kerinduan seperti itu dipenuhi saat pulang kampung di kala mudik. Ditambah ibadah Idul Fitri sebagai kembali ke fitrah—kerinduan yang amat manusiawi—tradisi mudik pun berkelitan antara sosial-budaya-ekonomi dan keberagamaan.
Kelitan inilah yang membuat tradisi mudik menjadi istimewa. Kita bangga terus berkembangnya tradisi mudik. Penyediaan sarana angkutan sehingga pemudik bisa melakukan penziarahan rohani dan sosial merupakan keharusan mutlak. Keberhasilan dan ketidakberhasilan menyelenggarakan sarana angkutan dan pengamanan yang memadai jadi kriteria kinerja birokrasi.
Lewat televisi maupun media cetak kita menyaksikan kerepotan tahunan. Kita menyaksikan ritus rutin tahunan tersebut berlangsung serupa dari tahun ke tahun. Seharusnya kita malu kedodoran dan grubyak-grubyuk selalu berulang.
Tradisi mudik Lebaran menyampaikan pesan konkret. Kita masih perlu terus belajar menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan umum. Sekali ini, karena sifatnya berkelitan menyatu keberagamaan dan sosial budaya, penanganan yang baik bagi pemudik pun membawa berkah berlimpah.

0 komentar: