Tradisi mudik Lebaran melekat erat
dengan Idul Fitri. Kerinduan pulang kampung menetralisasi kerepotan,
bahkan jadi pemanis kemenangan.
Mudik merupakan potret dialektika budaya yang sudah berlangsung berabad-abad. Said
Aqiel Siradj menempatkannya dalam konteks keberagamaan: kembali ke
fitrah sebagai upaya kesalehan yang bersifat spiritualvertikal yang
konkret, dimaknai lewat jalan kesalehan sosio-horizontal. Silaturahim
menjadi sarana sekaligus hasil.
Dalam konteks sosio-horizontal, tradisi
mudik bisa menjadi cermin pasang-surutnya kehidupan. Jumlah pemudik
bisa dijadikan salah satu faktor walaupun tidak otomatis. Membesarnya
jumlah pemudik tidak selalu menjadi cermin kemajuan, bahkan bisa
sebaliknya.
Jumlah pemudik dari Jakarta tahun ini
hampir 16 juta (tahun lalu 15 juta), tidak otomatis menunjukkan
membaiknya pertumbuhan ekonomi. Pertambahan jumlah itu mungkin
mengisyaratkan semakin sedikitnya lapangan kerja di pedesaan—berbanding
lurus dengan kemiskinan—sehingga semakin banyak orang bermigrasi.
Migrasi berkaitan dengan pertumbuhan
ekonomi nasional. Jakarta yang luasnya 0,03 persen, dengan jumlah
penduduk sekitar 14,2 persen dari total Indonesia, dalam kenyataan
menjadi pusat kegiatan sektor finansial, yang mendorong migrasi.
Ada ahli mengatakan mudik sebagai
counterstream (arus balik) migrasi (stream). Membuat keputusan
bermigrasi, diikuti kesiapan perubahan psikologis. Kebiasaan-kebiasaan
di kampung halaman tidak bisa lagi dilakukan sebagai migran Jakarta.
Kerinduan seperti itu dipenuhi saat
pulang kampung di kala mudik. Ditambah ibadah Idul Fitri sebagai
kembali ke fitrah—kerinduan yang amat manusiawi—tradisi mudik pun
berkelitan antara sosial-budaya-ekonomi dan keberagamaan.
Kelitan inilah yang membuat tradisi
mudik menjadi istimewa. Kita bangga terus berkembangnya tradisi mudik.
Penyediaan sarana angkutan sehingga pemudik bisa melakukan penziarahan
rohani dan sosial merupakan keharusan mutlak. Keberhasilan dan
ketidakberhasilan menyelenggarakan sarana angkutan dan pengamanan yang
memadai jadi kriteria kinerja birokrasi.
Lewat televisi maupun media cetak kita
menyaksikan kerepotan tahunan. Kita menyaksikan ritus rutin tahunan
tersebut berlangsung serupa dari tahun ke tahun. Seharusnya kita malu
kedodoran dan grubyak-grubyuk selalu berulang.
Tradisi mudik Lebaran menyampaikan
pesan konkret. Kita masih perlu terus belajar menangani masalah-masalah
yang berkaitan dengan kepentingan umum. Sekali ini, karena sifatnya
berkelitan menyatu keberagamaan dan sosial budaya, penanganan yang baik
bagi pemudik pun membawa berkah berlimpah.
0 komentar:
Posting Komentar